Haruskah Menunggu?

22.24

Dara berjalan tergesa-gesa. Pokoknya, sebelum pukul lima sore ini ia harus sudah tiba di rumah. Ia ada janji bersama seseorang malam ini. Ponselnya mati sejak mata kuliah terakhir, kehabisan baterai. Ia hanya bisa beradu cepat dengan penunjuk waktu yang melingkar di tangannya yang tidak bisa berkompromi, jarumnya terasa cepat sekali berputar. Kakinya menapaki jalanan basah bekas hujan deras yang baru saja berhenti. Malam ini, ia tidak boleh terlambat, tentunya ia tidak ingin mengecewakan orang yang dicintainya.

                                                                                          ***

"Maaf, aku terlambat."
Suara berat seorang laki-laki menyelinap masuk melalui pendengaran Dara. Ia mendongak, laki-laki itu menghembuskan asap rokok dan kemudian membuang puntungnya lalu menginjaknya. Sebenarnya Dara benci asap rokok, tetapi demi laki-laki itu, dia menahan dirinya untuk tidak terbatuk-batuk ketika asap putih itu mengepul menerjang penciumannya. 
"Tidak apa-apa, kok, Bagas." Dara memaksakan tersenyum. Ia hanya tidak ingin mengecewakan laki-laki di hadapannya, meskipun sebenarnya ia yang kecewa. Dara sengaja datang lima menit lebih awal dari waktu yang telah dijanjikan, tetapi malah laki-laki ini yang jamnya karet. Tetapi memang benar tidak apa-apa, wujud cinta adalah pengorbanan, meskipun pengorbanannya tidak pernah berarti dalam sudut pandang laki-laki itu.
Alunan musik jazz terdengar sampai keluar, hawa dingin yang tercipta berkat hujan tadi siang masih terasa. Dara merapatkan cardigan tipisnya dan kemudian mengusap-usap telapak tangannya. Bagas duduk di samping Dara, tangannya meraih kedua tangan Dara lalu menggenggamnya kuat.
"Sudah hangat sekarang?" Ujarnya. Ah, laki-laki ini. Pandai sekali ia menciptakan semburat merah yang tidak bisa disembunyikan Dara di pipinya. Dara mengangguk pelan, ia tidak berkata apa-apa selain merasakan nyaman yang menjalar di tubuhnya. Ia hanya bisa berangan-angan jika saja laki-laki ini miliknya, pasti tangannya akan hangat setiap hari.
"Memangnya, pacarmu kemana?" Tanya Dara. Ia tahu bahwa jawaban dari Bagas akan sangat menyakitkan hatinya, namun ia tidak peduli. Ia bahkan berharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi; hubungan Bagas berakhir dengan kekasihnya.
"Dia sedang berkencan dengan tugas kuliahnya. Iya, aku diduakan." Bagas terkekeh. "Sudahlah, jangan bicarakan dia. Malam ini, aku milik kamu." Bagas kemudian melepaskan genggamannya lalu merangkul pundak Dara.
"Kamu yang menduakan dia, Bodoh." Mereka kemudian tertawa bersama-sama. Bagas mendorong perlahan kepala Dara untuk mendarat di bahunya. Nyaman. Bahunya kokoh. Ia kemudian sibuk berpikir mengapa ia mencintai seseorang yang salah, menyesali perasaan yang seharusnya tidak boleh ia rasakan, mencoba bersabar lebih lama lagi ketika pada akhirnya, ia tak kunjung diberi kepastian. 
"Mau masuk sekarang?" Tanya Bagas setelah melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "Tompi sebentar lagi."
Dara sedikit tersentak dari lamunan.
"Ayo, kita ke galeri saja dulu." Dara bangkit dari duduknya lalu menarik tangan Bagas dan berjalan menuju pintu masuk. Setelah menyerahkan tiket kepada petugas, mereka masuk dan berbelok menuju galeri.
"Percuma kita kesini, aku tidak membawa kamera, jadi aku tidak bisa memotretmu." Bagas berkata sambil matanya memerhatikan salah satu lukisan abstrak yang terpajang disana.
"Kamu yakin kalau kamu membawa kamera kamu akan memotretku? Memangnya pacarmu tidak akan marah ketika tahu di kameramu ada fotoku?" Ujar Dara sinis. "Tenang saja," Dara merogoh tas selempangnya dan mengacungkan sebuah kamera polaroid sambil tersenyum lebar ke arah Bagas. "Aku membawa ini."
Bagas terkekeh dan mengacungkan jempol. "Bagus!"
Dara kemudian membidik salah satu patung lilin yang berdiri di dekat sebuah kursi tunggu. Ah, sebenarnya yang seorang fotografer adalah Bagas, dan Dara tidak begitu ahli dalam potret-memotret, namun setelah ia melihat hasil potretannya dari beberapa foto yang keluar dari kameranya, Dara merasa cukup puas.
Melihat Dara yang sibuk sendiri, Bagas mengambil alih polaroid Dara ke tangannya. "Oh, ayolah, aku akan memotret dirimu."
Dara tersenyum senang, ia mengambil beberapa pose di dekat beberapa patung dan lukisan lalu mengagumi hasil jepretan Bagas yang selalu mengagumkan. 
"Hei, mau berfoto bersamaku? Kita bisa selfie. Nanti aku saja yang menyimpan fotonya." Tanya Dara, terlebih kalimat yang terakhir, suaranya terdengar lirih.
"Boleh. Tetapi jangan banyak-banyak, ya. Berfoto denganku mahal." Bagas terkekeh. Dara memukul bahu Bagas pelan.
 Mereka memutuskan untuk keluar dari galeri setelah mereka mendengar suara pembawa acara yang mengatakan bahwa Tompi akan segera tampil. Ya, yang Dara tahu, Bagas menyukai Tompi, seperti dirinya. Mereka duduk di bangku yang telah disediakan menghadap panggung. Musik mengalun khas dan suara riuh tepuk tangan menggema, dan Dara menyadari bahwa tangannya sudah tergenggam erat dengan tangan Bagas.
Dara mengalihkan pandangan dari panggung. Dilihatnya Bagas begitu menikmati alunan musik Jazz yang disuguhkan. Ia mengamati wajah Bagas dalam-dalam, dan hatinya kemudian mencelos karena menyadari bahwa Bagas ini bukan miliknya. Genggaman tangan ini hanya sementara, dan mungkin saat-saat seperti ini hanya akan terjadi sekali seumur hidup Dara. 
Dara tidak ingin mengasumsikan dirinya sebagai selingkuhan. Setidaknya itu juga yang dikatakan Bagas, dan entah sudah berapa kali Bagas meyakinkan Dara untuk bersabar menunggu ia putus dengan kekasihnya. Kemudian Dara membayangkan sakitnya hati kekasih Bagas saat ditinggalkan Bagas suatu hari nanti. Tetapi, siapa peduli? Saat ini Dara hanya ingin mengedepankan egonya, ia sudah terlanjur menaruh seluruh hatinya untuk Bagas.
Tiba-tiba ponsel Bagas berbunyi. Bagas merogoh saku celananya dan dengan sigap mengangkat telepon.
"Halo, Sayang?"
Dara terkesiap, dan dirasakannya badannya melemas.
"Iya, aku kesana sekarang."
Bagas melirik ke arah Dara, dan Dara mengangguk mengerti. Dara menggigit bibir, tenggorokannya cekat. Jangan menangis, Dara. Ia menguatkan diri sendiri.
"Maaf. Tidak apa-apa kan, aku tinggal? Dia minta ditemani."
Dara mengangguk sekali lagi dan mengibaskan tangannya menyuruh pergi. Ia memaksakan seulas senyum, dan Bagas pun balas tersenyum lalu berjalan menjauh dan hilang di balik kerumunan orang.
Alunan musik kini tidak ada artinya lagi. Ia merogoh tasnya mengeluarkan beberapa foto ia dan Bagas yang diambilnya tadi. Ia sekarang tidak dapat menahan air matanya, dengan yakinnya ia meremas foto mereka dan membuang sembarang ke tanah, tidak peduli terhadap peraturan dilarang membuang sampah sembarangan.
Mungkin inilah cara Tuhan mengutuk umat-Nya. Membuatnya mencintai seseorang yang tidak dapat dimilikinya.


0 komentar