Aku Masih Dalam Genggamanmu

22.06

"Tumben sendirian?" Tanyanya.
Aku tahu dia hanya menyindir. Aku bergeming tidak menjawab, tidak ada gunanya. Semua hanya akan menciptakan perdebatan yang tidak berarti sama sekali. Maka, aku terus berjalan dan tak menghiraukannya. Dia tertawa pelan.

Hujan. Ternyata selama aku berjalan di koridor kampus, aku melamun sehingga aku sama sekali tidak menyadari rintik-rintik itu telah jatuh bergantian. Aku menghela nafas pelan. Itu artinya aku akan lebih lama lagi disini dan tepat sekali, dia lagi. Entah topeng yang mana yang kali ini ia kenakan.
"Mau kuantar pulang?" Sebuah tawaran bodoh yang keluar dari mulutnya dicerna oleh otakku samar.
"Tidak, terima kasih." Tukasku cepat.
"Hujan seperti ini bisa membuatmu sakit." Ujarnya lirih.
Bodoh. Semua orang tahu fakta bahwa air hujan bisa menyebabkan sakit kepala, tapi tidak perlu berlebihan, aku bisa mengatasinya. Aku tidak menjawab dan hanya memainkan jari dan berdecak pelan.
"Memangnya, pacarmu kemana?"
"Maksudmu apa?" Aku mendengus kesal dan berbalik menatap matanya. Ada yang berbeda, aku cepat-cepat memalingkan muka.
Dia tidak bersuara lagi, untuk beberapa lama. Hujan masih menjadi baritone lembut yang mengiringi diamnya kami. Aku dan dia terlarut dalam pikiran masing-masing. Canggung sekali. Aku ingin segera pergi.
Dia tiba-tiba meraih tanganku lalu mengusap punggung tanganku lalu melepaskannya kembali. Dia tersenyum sangat manis. Sungguh, aku melihat ketulusan terselip dalam senyumannya. Matanya berkaca-kaca. Dasar cengeng!
"Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, wanita di sampingku ini kini bukan milikku lagi." Celotehnya. Matanya menerawang ke depan, tetapi kosong. Aku mengangkat alis pura-pura tidak mengerti.
"Wanita di sampingmu?
"Iya, kamu." 
Kemudian hening kembali.
Aku benci saat-saat seperti ini, semuanya hanya membuatku merasa bodoh. Sangat bodoh. Angin berhembus pelan namun terasa menusuk tulang. Belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti, masih seperti tadi.
Entah mengapa, aku mulai tidak nyaman berdiri. Aku pura-pura membetulkan tali sepatu. Aku merasa ingin menangis, berteriak sekencang-kencangnya. Nafasku tercekat di tenggorokan. Aku kemudian kembali berdiri.
"Aku... Hm, aku ingin pulang." Kataku pelan.
"Masih hujan," Desisnya, ia menghela nafas sebentar lalu kembali melanjutkan, "Aku masih sayang kamu, maafkan aku."
Kalimat itu terasa menusuk ulu hatiku. Seandainya bisa, aku juga ingin mengatakan hal yang sama. Seandainya keadaannya bukan seperti ini, aku juga ingin kembali merajut kisah bersamanya.
"Kenapa harus meminta maaf?"
"Aku minta maaf karena aku masih mengganggumu, padahal aku tidak ingin pacarmu marah kepadamu. Tapi, kenyataannya memang aku tidak ingin jauh darimu. Mungkin aku yang egois disini, seharusnya aku tidak perlu emosi waktu itu, jadinya kita berpisah, kan? Dan akhirnya, aku keduluan orang." Di akhir kalimatnya ia tertawa getir, atau lebih terdengar sarkastis.
"Harus berapa kali kujelaskan sampai kau benar-benar mengerti?" Tanyaku sebelum kemudian emosiku tidak tertahan lagi.
Dia tidak menjawab. Dia malah sibuk memperhatikan daun-daun yang basah oleh tangisan awan. Aku bosan menjelaskan. Perpisahan kami seminggu yang lalu hanya karena dia yang tolol dan egois. Angkuh sekali dia sampai tidak ingin mendengarkan penjelasanku. Padahal, godaan dalam hubungan itu sangat wajar.
Aku tidak menyangka dia bisa setempramental itu. Emosinya terlalu meledak-ledak dan kemudian semuanya berakhir. Aku tidak mengerti jalan pikirannya.
"Mungkin, kau harus paham. Ini tidak seburuk yang kau kira. Apa kau tidak bosan membahas tentang dia, pria yang sama sekali tidak ada artinya dalam hubungan kita? Bahkan setelah kita putus?
"Kau tahu, bodoh sekali karena kita berpisah hanya gara-gara satu pesan singkat dari pria pengganggu yang aku juga belum terlalu mengenalnya. Kau terlalu egois dan pemarah. Mulai sekarang, terserah kau saja." Jelasku panjang lebar. Aku marah karena dia tidak mengerti. Dia tidak peka.
"Maaf." Ujarnya pelan, namun aku masih bisa mendengarnya di antara bisingnya hujan. 
"Tidak ada gunanya. Aku mau pulang." Aku membetulkan letak tas selempangku di bahu lalu berjalan cepat ke arah gerbang kampus. Aku tidak menghiraukan saat dia memanggil namaku yang kemudian hanya terdengar samar. Mungkin, ini benar-benar perpisahan.
Dan, hujan semakin deras saja.

***

Helena:)

0 komentar