Untuk Sang Pengagum Hujan
20.39Tepatnya setahun yang lalu, seseorang dengan sengaja mengirimkan sebuah link tulisan dalam inbox Kompasiana milik saya. Beliau bernama S. Herianto. Saat itu hujan sedang mengguyur deras atap gedung ITB (Institut Teknologi Bandung), tempat saya berprakerin ketika itu.
***
“Seorang gadis 16 tahun pengagum hujan, mencintai sastra dan menyukai kesederhanaan” Itulah profil singkat pada sebuah halaman koran digital yang memuat kekagumannya pada hujan. Dalam salah satu rangkaian kalimatnya tentang rasa cintanya yang sederhana ia pun menulis:
“Untuk hujan, terimakasih telah menjadi pengiring kebahagiaan. Tanpanya, aku tak akan sekuat ini.
Dan untuk angin yang telah mengantarkan awan-awan mendung sampai ke
atas atap, terimakasih telah menciptakan kesederhanaan dalam setiap
hembusanmu.”
Dalam hati kuberucap:
selamat Dik, kamu telah mencapai tingkat tertinggi tentang rasa syukur.
Kamu telah mengetahui pesona hujan. Kamu telah belajar tentang peradaban
air. Dengan demikian, tampaklah sifat-sifat keindahan ciptaan Tuhan yang tidak lain adalah keindahanNya. Sekali lagi selamat, Dik!
Usia baru 16 tahun. Namanya Helena
Annisa, si Pengagum Hujan. Memang terlalu belia untuk paham peradaban
air. Tapi itulah karunia Tuhan, kasihnya tidak memandang usia. Tahukah
kau bahwa air adalah hamba Tuhan yang taat? Tahukah kau bahwa air juga
mempunyai peradaban? Seperti halnya peradaban manusia, air juga memiliki
peradaban. Air memiliki sifat. Dan ia sangat konsekuen dengan sifat
yang disandangnya. Ia selalu akan mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah. Ia akan membentuk dirinya sesuai dengan wadah yang
menampung. Ia dapat berubah wujud dari cair menjadi padat, dari padat
menjadi cair, dari cair menjadi gas, dan sebaliknya. Ia selalu memenuhi
janjinya untuk mentaati sifat yang Tuhan berikan padanya.
Manusia
tercipta oleh air. Dalam tubuhnya pun tersusun oleh berliter-liter air.
Bahkan bumi pun bagian terbesarnya terdiri atas air. Sungguh besar
peran air bagi manusia. Air itu menyehatkan, air juga membersihkan, air
menumbuhkan, air itu menyejukkan, air berteman dengan cahaya membentuk pelangi,
air berteman dengan panas membentuk uap air yang kemudian menjadi
hujan, air berteman dengan angin menjadi desiran ombak, air berteman
dengan manusia menjadi salah satu sumber kehidupan. Air berteman dengan
tanah menjadi bahan dasar terciptanya manusia.
Air
berasal dari surga, Adikku. Ia berasal dari kesucian. Ia berasal dari
sisi Tuhan yang mahasuci. Ia diperintahkan mengalur dari dalam bumi
menjadi sumur-sumur kehidupan. Kitalah yang telah membuatnya kotor,
Adikku. Air yang awalnya suci bersih telah kita manfaatkan sehingga
menjadi kotor dan berbau. Air kotor tersebut mengalir di sepanjang
parit, selokan, sungai, hingga
mengantar di lautan. Tahukah kau, Adikku, bahwa lautan itulah yang
sebenarnya membersihkan kembali air kotor tersebut sehingga dapat kita
minum lagi? Lautanlah yang membuatnya menjadi air tawar kembali. Apakah
Engkau hanya tahu bahwa air laut itu asin? Apakah Adikku hanya tahu
bahwa di laut Mati airnya berasa pahit? Pahit itu datang dari
berlebihannya rasa asin Adikku. Dan tahukah, Engkau, bahwa di dasar laut
itu airnya berasa tawar. Itulah yang mengisi rongga-rongga bumi hingga
ke sumur-sumur kita diperintah oleh Tuhan untuk menghidupi kita.
Air
itulah yang membuat kita melihat cahaya dengan membanjiri biji mata
kita. Air juga yang membimbing jantung kita untuk tidak meledak
tiba-tiba. Air pula yang membuat matahari tersenyum. Dan, air itulah
pula yang membangkitkan kita dari alam kubur, Adikku. Berapa banyak
pengagum air sepertimu yang telah berkarya memanfaatkan kelebihannya.
Anak-anak kecil sangat senang bermain air, bermandi hujan. Manusia
berkarya menciptakan kolam renang dan tempat rekreasi dari bahan air. Di
tempat itu ada perahu, ada peluncur, ada bola, ada ban, ada air menari, ada segala macam yang menarik karena pesona air. Terciptalah berbagai kreasi yang mendayagunakan air.
Sebenarnya
aku berkisah begini bukan untuk mengguruimu, Adikku. Aku hanya ingin
berbagi kepadamu tentang kekagumanku pada air. Dan hujan yang kau kagumi
adalah tariannya yang terindah. Satu hal lagi sebelum kuakhiri kisah
ini, bahwa hujan atau air itu berbicara! Simaklah!
***
Saya tahu, Tuan.
Setiap hujan turun, saya kerap kali mendengar celotehan mereka. Mendengar tawa canda mereka, mendengar olok-olok mereka. Saya juga tahu, mereka berlomba-lomba menyentuh tanah agar bisa menyerap dan menyehatkan tumbuhan, bukan mendarat di lubang yang menyebabkan kubangan air yang merugikan manusia.
Terimakasih, Tuan telah mengingatkan saya. Saya tidak merasa digurui oleh Anda, justru saya senang bisa berbagi kisah hujan dengan Anda.
Helena:)
0 komentar